Kembali lagi berpetualang (lagi-lagi) ke gunung arjuno.
Persiapan sudah dilakukan sejak tanggal 22 Desember 2011, mulai dari menghimpun
massa sampai ke penyewaan alat-alat persiapan mendaki ke puncak 3.339 meter
itu. Memang jadwal mendakinya bertepatan dengan adanya undangan di acara
tahunan bertempat di SMA Ar-Rohmah, tapi sudah kangen rasanya sama gunung yang
satu ini. Gunung yang puncaknya sering mencibirku saat dia terlihat sangat
cerah dari kampusku yang berada sekitar 30 kilometer dari puncaknya. Kami
kesana berempat yakni saya Adit, Andi, Juned dan Fani
Andi dan Juned sudah berada di Malang dua hari sebelum
pendakian, mereka datang dari Pandaan ke Malang untuk membicarakan logistik dan
keperluan pendakian. Sabtu 24 Desember
kami berempat bertolak meninggalkan Malang, tentunya setelah Fani pulang dari
sekolahnya (Fani adalah anggota termuda dalam perjalanan ini, masih kelas 2
SMA). Aku membonceng Fani dan Juned Bersama Andi, kami menuju ke Pandaan, ke
kediaman Andi sebagai basecamp, kami biasa menyiapkan semua keperluan dan
finishing di rumah Andi setiap melakukan pendakian via Tretes.
Perjalanan dari Malang menuju Pandaan disertai cuaca buruk,
hujan deras sepenjang perjalanan. Tentu kami harus mengatasi keadaan ini dengan memakai ponco, menembus
hujan dan kabut selama perjalanan.
Minggu pagi tanggal 25 Desember 2011, berbeda dengan cuaca
di hari kemarin, kami berharap cuaca ini akan berlangsung selama pendakian. Kami
menuju pos perijinan pendakian di belakang Hotel Surya Tretes, mengisi form,
membayar biaya administrasi dan asuransi. Pos perijinan ini sudah berada di
ketinggian sekitar 900 mdpl. Lalu kami berdoa sebelum melakukan perjalanan ini,
ya semoga selamat selalu.
Perjalanan ini sudah pernah kami rasakan, tepat pada hari
yang sama setahun yang lalu, kecuali Fani yang mungkin ini adalah jalur baru
baginya.Kami melalui jalanan berbatu, jalan ini juga merupakan jalan
transportasi para petani belerang. Jalan breliku dengan semak belukar di kanan
dan kirinya, tak begitu banyak pohon-pohon besar disini.
Makan makanan kecil, foto-foto dan mengobati kaki yang lecet
Sekitar 100 meter perjalanan meninggalkan pos kedua, kabut
tebal turun dan langsung mengguyur kami. Beruntung kami sedang melewati sebuah
gubug milik perhutani Kabupaten Pasuruan sehingga kami dapat berteduh sejenak
disana. Rupanya gubug ini baru karena kami tak menemuinya setahun yang lalu di
jalur ini. Hujan semakin deras sementara kami tak mau berlama-lama berteduh
menghabiskan waktu disini. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan dengan memakai ponco yang kami bawa.
Pos ketiga ini adalah tempat bersemayamnya belerang yang siap dibawa turun, belerang-belerang ini sudah dikemas dalam sak-sak plastik dengan ukuran tertentu untuk kemudian dibawa turun dengan mobil Jeep 4x4. Pos ini nampak seperti sebuah pemukiman, beberapa gubug lengkap dengan gudang amunisi, eh... logistik maksudnya dan sebuah musholla, semua terbuat dari kayu dan atapnya dari daun pohon kelapa.Pos3 ini juga merupakan persimpangan jalur pendakian menuju Puncak Arjuno dan puncak Welirang.
Ketika kami datang, tempat ini sudah ramai dengan beberapa
pendaki yang lain. Beberapa tenda sudah berdiri tegak. Tanpa mendirikan tenda kami
beristirahat untuk makan siang.
Makan siang kami memang tidak ditemani dengan cuaca yang
bersahabat, Bahkan ketika kami melakukan sholat, celana kami yang sebagian
basah menjadi benar-benar basah, begitu juga dengan baju, karena kami sholat
ditengah guyuran hujan rintik dan matras yang basah.
Maka dengan pertimbangan cuaca seperti ini akan sangat
mungkin kita hadapi di Puncak Arjuno. Keluarlah sebuah tanya yang mengaburkan
tujuan kita bersama. Ke Puncak Arjuno atau ke puncak Welirang? Pertanyaan yang
membuatku menelan ludah. Semua diam sejenak, namun mata Andi, Juned dan Fani
serentak tertuju padaku. Aku tak tahu apa maksudnya. Udara dingin dan air hujan
menambah beku bibirku yang tak dapat berkata apa-apa. Mungkin mereka tahu bahwa
aku sangat menginginkan puncak 3.339 mdpl itu. Tapi mengapa aku yang harus
mengambil keputusan, entahlah. Dengan suasana seperti ini sebetulnya akupun tak
tahu harus berkata apa, inginku tetap ke puncak Arjuno, apapun kondisinya, tak
ada yang perlu dikhawatirkan, kurasa. Karena persiapan kita sudah cukup. Namun
pada akhirnya dengan berbagai pertimbangan dan berat hati, bersama kita
putuskan tidak melanjutkan ke puncak Arjuno. Maka rencana kita mendirikan camp
di Pos 3 ini batal dan diganti dengan melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat di
ketinggian 3000 meter dan jarak tempuh 1 jam ke puncak Welirang.Kesepakatan
sudah diambil, mungkin aku yang paling merasakan kecewa atas ini, namun tubuh
ini mungkin sudah letih, kedinginan, peluh dan air hujan bercampur dan matahari
sudah akan kembali ke peraduannya, maka kita segera berangkat mengikuti jalur pendakian Welirang.
Jalur pendakian ke puncak Welirang ini lebih banyak jalan
setapak dan banyak persimpangan sehingga cukup membingungkan, namun tak perlu
khawatir karena kita hanya perlu mengikuti jalur yang terdapat bekas roda
kereta milik petani pengangkut belerang.
Camp ini berada di ketinggian sekitar 3000meter atau sekitar
150 meter dibawah Puncak Welirang, tak ada mata air dan bangunan lainnya, yang
ada hanya hamparan padang rumput yang luas. Suasana dingin, basah,hening dan
gelap, kami segera mendirikan tenda dengan bantuan pencahayaan lampu senter.
Membongkar semua isi tas dan memasukkannya dalam tenda, kemudian kami makan
malam. Segelas kopi panas sedikit membuat hangat suasana, kami tak mau berbagi
kehangatan ini bersama rintikan air hujan dan angin di luar tenda yang sejak
tadi membuat beku bibir dan tagan kami. Setelah melakukan sholat, kami
beristirahat.
Pagi harinya muncul cerita-cerita aneh tentang
pengalaman tidur semalam. Sleeping Bag basah, kaos kaki yang terlepas, tak bisa
tidur, embun dalam tenda sampai tingkah kita dalam tenda saat tidur. Tenda yang
kami bawa memang sempit untuk tidur 4 orang. Namun dari semua itu tak ada
sedikitpun nampak rasa menyesal telah melakukan perjalanan ini. Disebelah
utara, puncak Welirang menunggu, kami berkemas dan segera berangkat. Memang
sinar matahari tampak sayup-sayup dibalik awan, namun kami berharap akan cerah dipuncak nanti.
Tibalah saatnya meninggalkan camp menuju puncak. Bersama
kami turut serta para petani belerang
yang tandanya kami masih berada di jalur pendakian yang benar.
Hilir mudik para petani yang memikul gerobag (kereta tarik)
belerang ini merupakan pemandangan menarik bagi kami, saya mencoba mengambil
gambar. Namun rupanya salah seorang diantara mereka merasa tidak nyaman atas
ini. Aku pun segera menyimpan kamera dalam tas untuk menghormati mereka.
yang artinya “mas,
jangan mengambil gambar (potret) saya (petani), kami ini orang susah, jadi
tidak perlu diambil gambar”
--salah seorang petani belerang berbicara dalam bahasa jawa--
welirang emblem