Laman

Minggu, 01 Januari 2012

Welirang,Catatan Perjalanan





Kembali lagi berpetualang (lagi-lagi) ke gunung arjuno. Persiapan sudah dilakukan sejak tanggal 22 Desember 2011, mulai dari menghimpun massa sampai ke penyewaan alat-alat persiapan mendaki ke puncak 3.339 meter itu. Memang jadwal mendakinya bertepatan dengan adanya undangan di acara tahunan bertempat di SMA Ar-Rohmah, tapi sudah kangen rasanya sama gunung yang satu ini. Gunung yang puncaknya sering mencibirku saat dia terlihat sangat cerah dari kampusku yang berada sekitar 30 kilometer dari puncaknya. Kami kesana berempat yakni saya Adit, Andi, Juned dan Fani





Andi dan Juned sudah berada di Malang dua hari sebelum pendakian, mereka datang dari Pandaan ke Malang untuk membicarakan logistik dan keperluan pendakian.  Sabtu 24 Desember kami berempat bertolak meninggalkan Malang, tentunya setelah Fani pulang dari sekolahnya (Fani adalah anggota termuda dalam perjalanan ini, masih kelas 2 SMA). Aku membonceng Fani dan Juned Bersama Andi, kami menuju ke Pandaan, ke kediaman Andi sebagai basecamp, kami biasa menyiapkan semua keperluan dan finishing di rumah Andi setiap melakukan pendakian via Tretes.

Perjalanan dari Malang menuju Pandaan disertai cuaca buruk, hujan deras sepenjang perjalanan. Tentu kami harus mengatasi  keadaan ini dengan memakai ponco, menembus hujan dan kabut selama perjalanan.





Minggu pagi tanggal 25 Desember 2011, berbeda dengan cuaca di hari kemarin, kami berharap cuaca ini akan berlangsung selama pendakian. Kami menuju pos perijinan pendakian di belakang Hotel Surya Tretes, mengisi form, membayar biaya administrasi dan asuransi. Pos perijinan ini sudah berada di ketinggian sekitar 900 mdpl. Lalu kami berdoa sebelum melakukan perjalanan ini, ya semoga selamat selalu.









Perjalanan ini sudah pernah kami rasakan, tepat pada hari yang sama setahun yang lalu, kecuali Fani yang mungkin ini adalah jalur baru baginya.Kami melalui jalanan berbatu, jalan ini juga merupakan jalan transportasi para petani belerang. Jalan breliku dengan semak belukar di kanan dan kirinya, tak begitu banyak pohon-pohon besar disini.
 



Makan makanan kecil, foto-foto dan mengobati kaki yang lecet


 
Sekitar 100 meter perjalanan meninggalkan pos kedua, kabut tebal turun dan langsung mengguyur kami. Beruntung kami sedang melewati sebuah gubug milik perhutani Kabupaten Pasuruan sehingga kami dapat berteduh sejenak disana. Rupanya gubug ini baru karena kami tak menemuinya setahun yang lalu di jalur ini. Hujan semakin deras sementara kami tak mau berlama-lama berteduh menghabiskan waktu disini. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan memakai ponco yang kami bawa.








Pos ketiga ini adalah tempat bersemayamnya belerang yang siap dibawa turun, belerang-belerang ini sudah dikemas dalam sak-sak plastik dengan ukuran tertentu untuk kemudian dibawa turun dengan mobil  Jeep 4x4. Pos ini nampak seperti sebuah pemukiman, beberapa gubug lengkap dengan gudang amunisi, eh... logistik maksudnya dan sebuah musholla, semua terbuat dari kayu dan atapnya dari daun pohon kelapa.Pos3 ini juga merupakan persimpangan jalur pendakian menuju Puncak Arjuno dan puncak Welirang.
Ketika kami datang, tempat ini sudah ramai dengan beberapa pendaki yang lain. Beberapa tenda sudah berdiri tegak. Tanpa mendirikan tenda kami beristirahat untuk makan siang.

Makan siang kami memang tidak ditemani dengan cuaca yang bersahabat, Bahkan ketika kami melakukan sholat, celana kami yang sebagian basah menjadi benar-benar basah, begitu juga dengan baju, karena kami sholat ditengah guyuran hujan rintik dan matras yang basah.


Maka dengan pertimbangan cuaca seperti ini akan sangat mungkin kita hadapi di Puncak Arjuno. Keluarlah sebuah tanya yang mengaburkan tujuan kita bersama. Ke Puncak Arjuno atau ke puncak Welirang? Pertanyaan yang membuatku menelan ludah. Semua diam sejenak, namun mata Andi, Juned dan Fani serentak tertuju padaku. Aku tak tahu apa maksudnya. Udara dingin dan air hujan menambah beku bibirku yang tak dapat berkata apa-apa. Mungkin mereka tahu bahwa aku sangat menginginkan puncak 3.339 mdpl itu. Tapi mengapa aku yang harus mengambil keputusan, entahlah. Dengan suasana seperti ini sebetulnya akupun tak tahu harus berkata apa, inginku tetap ke puncak Arjuno, apapun kondisinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan, kurasa. Karena persiapan kita sudah cukup. Namun pada akhirnya dengan berbagai pertimbangan dan berat hati, bersama kita putuskan tidak melanjutkan ke puncak Arjuno. Maka rencana kita mendirikan camp di Pos 3 ini batal dan diganti dengan melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat di ketinggian 3000 meter dan jarak tempuh 1 jam ke puncak Welirang.Kesepakatan sudah diambil, mungkin aku yang paling merasakan kecewa atas ini, namun tubuh ini mungkin sudah letih, kedinginan, peluh dan air hujan bercampur dan matahari sudah akan kembali ke peraduannya, maka kita segera berangkat mengikuti  jalur pendakian Welirang.






Jalur pendakian ke puncak Welirang ini lebih banyak jalan setapak dan banyak persimpangan sehingga cukup membingungkan, namun tak perlu khawatir karena kita hanya perlu mengikuti jalur yang terdapat bekas roda kereta milik petani pengangkut belerang.


Camp ini berada di ketinggian sekitar 3000meter atau sekitar 150 meter dibawah Puncak Welirang, tak ada mata air dan bangunan lainnya, yang ada hanya hamparan padang rumput yang luas. Suasana dingin, basah,hening dan gelap, kami segera mendirikan tenda dengan bantuan pencahayaan lampu senter. Membongkar semua isi tas dan memasukkannya dalam tenda, kemudian kami makan malam. Segelas kopi panas sedikit membuat hangat suasana, kami tak mau berbagi kehangatan ini bersama rintikan air hujan dan angin di luar tenda yang sejak tadi membuat beku bibir dan tagan kami. Setelah melakukan sholat, kami beristirahat.








Pagi harinya muncul cerita-cerita aneh tentang pengalaman tidur semalam. Sleeping Bag basah, kaos kaki yang terlepas, tak bisa tidur, embun dalam tenda sampai tingkah kita dalam tenda saat tidur. Tenda yang kami bawa memang sempit untuk tidur 4 orang. Namun dari semua itu tak ada sedikitpun nampak rasa menyesal telah melakukan perjalanan ini. Disebelah utara, puncak Welirang menunggu, kami berkemas dan segera berangkat. Memang sinar matahari tampak sayup-sayup dibalik awan, namun kami berharap akan  cerah dipuncak nanti.





Tibalah saatnya meninggalkan camp menuju puncak. Bersama kami turut serta  para petani belerang yang tandanya kami masih berada di jalur pendakian yang benar.



Hilir mudik para petani yang memikul gerobag (kereta tarik) belerang ini merupakan pemandangan menarik bagi kami, saya mencoba mengambil gambar. Namun rupanya salah seorang diantara mereka merasa tidak nyaman atas ini. Aku pun segera menyimpan kamera dalam tas untuk menghormati mereka.


yang artinya “mas, jangan mengambil gambar (potret) saya (petani), kami ini orang susah, jadi tidak perlu diambil gambar”
--salah seorang petani belerang berbicara dalam bahasa jawa--






welirang emblem